25 Jan 2011

The Mental Accounting Problem


Tanggal 25 Mei, Bapak A baru saja menerima bonus tahunan sejumlah 2 kali gaji. Di akhir pekan itu juga dia mengajak keluarganya pergi ke toko peralatan elektronik, di mana ia membeli satu set TV plasma lengkap dengan home theater. Sesampai di rumah, ia memasang satu set peralatan tersebut, dan menonton bersama keluarga film animasi Wall-E. Dalam hatinya, Bapak itu puas telah menghabiskan bonus tahunannya untuk sebuah barang yg tepat.
Tanggal yg sama, Bapak B menerima bonus tahunan sejumlah 2 kali gaji dari perusahaan yg sama dgn Bapak A. Di siang hari berikutnya ia segera pergi ke bank, di mana ia membeli sebuah produk reksadana saham (mutual fund) dengan seluruh uang bonus tsb. Sepulang dari bank, Bapak itu membuka catatan investasinya, dan tersenyum puas melihat assetnya bertambah 10%.
Cerita di atas mungkin kisah nyata, namun juga sebuah kasus menarik dari apa yg disebut “mental accounting”, sebuah fenomena perilaku finansial atau ekonomi perilaku (behavioral finance) yg pertama kali diteliti oleh Richard Thaler, profesor school of business Chicago. Mental accounting adalah perilaku ekonomi dengan mana seseorang menggolongkan inputan dan keluaran berdasarkan pos-pos seperti halnya model akuntansi (account code). Karena pengaruh mental accounting inilah maka uang Rp 1 juta yg diperoleh dari undian berhadiah dan uang Rp 1 juta yg diperoleh dari kerja keras 1 bulan, tidaklah sama nilainya. Padahal jumlahnya sama.
Dalam kasus di atas, Bapak A menilai uang bonus 2 kali gaji tidak sama nilainya dengan gaji 2 bulan (meskipun jumlahnya sama persis). Bapak A tidak akan membelanjakan gajinya selama 2 bulan untuk seperangkat home theater. Sebaliknya, Bapak B memilih utk segera ‘mengenyahkan’ uang tersebut agar tidak terjebak ke dalam perilaku mental accounting ini, dengan cara investasi.
Perilaku mental accounting ini tergambar pula dalam kasus berikut ini.
Agus berniat menonton pertandingan Persija vs Persebaya, dan ia membeli tiket Rp 100 ribu dari seorang calo supporter bonek temannya. Sesampai di stadion ia merogoh saku celana jeansnya dan menemukan bahwa tiketnya telah hilang jatuh di perjalanan. Dengan gigit jari Agus pulang ke rumah tak jadi menonton kesebelasan kesayangannya. Dalam waktu yg sama Bedu, seorang Jakmania tulen, tiba di stadion utk menonton pertandingan yg sama. Saat antri di loket, Bedu tersadar bahwa ia kecopetan, dan uang Rp 100 ribunya amblas sudah. Untunglah Bedu datang ramai-ramai bersama teman-temannya sesama Jakmania. Dengan mudah ia mendapat pinjaman Rp 100 ribu, dan segera membeli tiket masuk stadion.
Sekarang apabila Anda berpikir bahwa perilaku kedua orang itu ‘wajar-wajar saja’ (Anda pun akan melakukan yg sama), maka Anda terjebak dlm mental accounting ini. Inilah masalah mental accounting itu: Agus tidak meneruskan niatnya menonton karena ia tak mau membelanjakan Rp 200 ribu utk pertandingan tsb, sedangkan bagi Bedu hilangnya Rp 100 ribu dan biaya tiket Rp 100 ribu agak dipisahkan - secara kejiwaan- dalam dua kategori yg berbeda (sehingga bagi Bedu ia hanya menghabiskan Rp 100 ribu utk selembar tiket).
Anda yg telah disiplin berinvestasi tidak dapat begitu saja berbangga dan mengatakan, ‘wah saya telah terbebas dari tipuan mental accounting ini karena sudah melakukan investasi dgn bijaksana.’ Berhati-hatilah para investor dengan contoh kasus mental accounting berikutnya.
Paijo dan Paimin memiliki portfolio saham dengan nilai yang sama menghasilkan investasi 20% per tahun. Perbedaannya, portofolio Paijo mendapatkan return hanya dari capital gain saja, sedangkan Paimin menghasilkan return dari dividen. Persoalan mental accounting: yang manakah yang pengeluarannya lebih banyak? Dan mana yang mengakumulasi kekayaan lebih banyak?
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Stefan Nagel dari Stanford School of Business, ternyata investor yang menerima dividen pengeluarannya cenderung lebih banyak. Sementara itu, mereka yang memperoleh capital gain cenderung melakukan reinvestasi. Disinilah letak mental accounting-nya: deviden membuat Paimin merasa ia mendapatkan extra money dan cenderung membelanjakannya, sedangkan capital gain dianggap Paijo sebagai ‘return wajar saham’, sehingga tak perlu dihamburkan. Agar tak terjebak oleh perilaku inilah maka Ben Graham dalam The Intelligent Investor menyarankan setiap investor utk me-reinvestasi-kan setiap deviden yg didapat.

Gejala-gejala mental accounting :
  • Anda mengira diri Anda  bukanlah pemboros, tetapi Anda mengalami kesulitan utk menabung, meskipun penghasilan Anda cukup besar.
  • Anda berbelanja lebih banyak jika menggunakan credit card ketimbang jika memakai uang cash.
  • Kebanyakan dana pensiun Anda berada pada penghasilan tetap atau investasi rentan inflasi lainnya.
  • Anda memperlakukan Rp 1 juta dari uang warisan mertua berbeda dengan Rp 1 juta dari hasil kerja.
Celakanya, mental accounting ini tidak hanya dapat dialami oleh individu perseorangan. Sebuah korporasi dapat terjebak pada kultur perilaku ini manakala:
Tidak sadar biaya dengan menganggap pos-pos pengeluaran kecil tidak ada artinya.
Padahal menjadi sadar biaya ketika melakukan pembayaran-pembayaran kecil yang rutin seringkali berarti bahwa Anda bisa memenangkan penghematan-penghematan besar.
Contoh kasus ini adalah PT Timah. Sebelum th 1990 kantor pusat PT Timah ada di Jakarta, pabriknya ada di Bangka, Belitung, Singkep. Th 1990, Kuntoro Mangkusubroto, CEO Timah yg baru, merestrukturisasi PT Timah diantaranya dengan memindahkan kantor pusat ke Bangka. Dengan ini maka banyak ‘pengeluaran-pengeluaran kecil’ perjalanan dinas yg dapat dihemat. Selain itu, manajemen menjadi lebih efektif karena para pejabat tidak kehilangan dua hari perjalanan pulang-pergi dari Jakarta-Bangka-Belitung. Dua hari kerja dianggap sebagai dua hari perjalanan dinas, sebuah persoalan mental accounting yg lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar